Kurikulum Darurat pada Fase Pemulihan

Prinsip inti dari kurikulum adalah menempatkan peserta didik pada jantung pendidikan. Dengan mengedepankan pencapaian kompetensi pengetahuan, sosial, dan keterampilan sebagai pemenuhan atribut kehidupan abad ke-21 ini. Meskipun pandemi Covid-19 mengubah banyak hal dalam pendidikan, prinsip inti dan pencapaian kompetensi tidak bisa dihilangkan.

Kurikulum dalam keadaan anomali ini memang membutuhkan adanya perubahan. Fleksibiltas penerapan di lapangan menjadi penting selama fase pemulihan dengan pendekatan pembelajaran campuran (blended learning), yaitu memadukan kombinasi daring dan luring. Kurikulum yang dapat beradaptasi dan responsif terhadap beragam kebutuhan peserta didik, itulah yang bisa dimaknai tentang kurikulum darurat.

Setidaknya ada empat karakteristik yang sebaiknya termuat dalam kurikulum darurat, yaitu kesederhanaan, kejelasan, prioritas, dan aktivitas. Kurikulum yang sederhana hanya memuat materi yang esensial, kompleksitas dinomorduakan. Hasil dari kurikulum mengandung kejelasan suatu harapan bagi guru dan siswa. Skala prioritas dalam perumusan sehingga menghasilkan pembelajaran yang berorientasi pada aktivitas siswa yang menyenangkan.

Karakteristik yang berorientasi pada aktivitas siswa ini tetap membutuhkan kegiatan literasi. Aspek membaca, berhitung, serta berpikir harus dihubungkan erat dengan kemampuan siswa dalam berbicara dan menulis. Ini tidak bisa dipisahkan karena ini merupakan sebuah konsep utuh dari literasi yang merupakan bagian dari kecakapan abad ke-21.

Sinergi antara Kementerian Pendidikan, Kementerian kesehatan, Kementerian Dalam Negeri, serta Kementerian Agama mutlak diperlukan. Sehingga implementasi di lapangan penerapan kurikulum darurat ini menjadi lebih tertata.

Dalam konteks dibukanya sekolah dalam fase pemulihan, selain kompetensi, perlu adanya prioritas dalam kesehatan fisik, mental, dan emosional peserta didik –penyadaran bahwa kesehatan merupakan harta yang tidak ternilai. Penjagaan protokol kesehatan di lingkup sekolah sampai mereka pulang kembali di sekolah perlu diterapkan secara ketat. Karena menjaga nyawa siswa perlu didahulukan daripada mendapatkan manfaat dari proses belajar itu sendiri.

Semua orang tidak mengharapkan adanya kluster sekolah. Seandainya ada kluster sekolah, tentu tidak ada yang mau disalahkan, padahal hanya kesalahan “kecil” berupa abai pada protokol kesehatan.

Kurikulum darurat ini harus dipastikan bahwa peserta didik dapat terlibat aktif dalam pembelajaran di sekolah. Pembelajaran tidak harus dilaksanakan di dalam kelas. Pembelajaran dapat dilakukan di luar ruang kelas atau alam terbuka, bahkan porsinya harus lebih banyak.

Dengan demikian, mereka dapat belajar sambil bermain sehingga ketegangan ketika berinteraksi dapat diminimalkan. Mentalitas akan membangun emosional yang bermanfaat pada fisik.

Fokus awal dalam kurikulum darurat pada fase pemulihan adalah bagaimana siswa dapat beradaptasi dengan lingkungan baru baik pada ekologi pembelajaran ataupun pola interaksi siswa dengan guru, sehingga ekosistem pembelajaran bisa optimal.

Kurikulum darurat ini harus sefleksibel mungkin yang tidak membebani siswa dalam penugasan, namun bagaimana para guru dapat membuat situasi belajar yang menyenangkan, sehingga siswa dapat menikmati proses pendidikan secara alami karena ada waktu mereka bersantai.

Memastikan akses reguler bagi peserta didik ke aktivitas berkualitas tinggi melalui kerja sama dengan guru dan orangtua siswa dalam pengaturan pendidikan dan pembelajaran jarak jauh di rumah.

Desain penilaian tes formal mungkin bukan pendekatan yang paling tepat untuk penilaian selama fase pemulihan awal serta pendekatan penilaian lain yang berpotensi menimbulkan stres selayaknya ditinggalkan.

Orientasi proses pembelajaran yang menyenangkan tetap harus dikedepankan baik melalui kegiatan observasi, praktik, maupun refleksi. Penekanan pada “menyenangkan” agar siswa dapat fokus pada apa saja yang membuatnya menarik.

Sekali lagi bahwa kurikulum bukanlah kitab suci yang tidak bisa diubah. Meskipun kurikulum melazimkan adanya perubahan karena situasi dan kondisi, janganlah perubahan hanya berganti nama yang hakikatnya sama saja. Bahkan pada tataran implementasi pun tetap sama, maka tentu bukanlah sebuah perubahan yang diinginkan.

Sumber: https://news.detik.com/

Related Articles

Responses

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *